Beberapa kali ku temui orang yang sering
sekali meminta maaf kepada orang lain. Memang si,, itu baik, namun terlalu
seringnya minta maaf jadi seolah-olah ka maaf itu menjadi sesuatu hal yang
lumrah dan wajar tanpa adanya usaha perbaikan dan pertanggungjawaban atas kata
“maaf” yang telah diucapkan. Misalnya saja, “maaf, karena telah membuatmu
menunggu”. Dan ucapan maaf itu selalu berulang setiap kali berjanji untuk
bertemu tanpa ada usaha untuk tidak mengucapkan kata “maaf” lagi. Apakah itu
esensi dari kata maaf???
Kalau aku si,, menyebalkan ya… mendengar
kata maaf terus keluar dari mulut tanpa ada usaha untuk memperbaiki diri. Hanya
maaf, maaf, maaf, dan maaf. Rasanya pengen berteriak “heiii,,, kalau memang
ingin minta maaf, lakukan sesuatu dong. Jangan hanya maaf dan tidak ada usaha
untuk memperbaikinya”. Yaa,, itulah aku. Tapi memang ada benarnya juga juga kan
pendapatku? Kata maaf tidak akan bermakna tanpa adanya usaha untuk
memperbaikinya. Lebih baik sering-sering berkata “terimakasih” kan, dari pada
kata “maaf”.
Jadi ingat kisahnya Aya dalam drama Jepang
‘one litre of tears’. Saat Aya mulai bergantung pada pertolongan orang lain
untuk berjalan dan mengikuti pelajaran. Aya selalu bilang “maaf”, maaf karena
telah merepotkan. Namun, sang ibu dengan sabar memberikan nasehat “jangan
selalu meminta maaf, tapi ucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah
membantumu”. Sejak saat itu ucapan terimakasih-lah yang selalu terucap dari
bibir Aya saat menerima bantuan dari orang lain.